MAKALAH
SASTRA BANDINGAN NUSANTARA
PERBANDINGAN SASTRA SUNDA, JAWA, BALI, SLAWESI SELATAN, DAN SUMATERA
Nama : Asmaniar Sofyan
Nim : F021171309
Departemen : Sastra Daerah
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangSastra Nusantara adalah Sastra Kepulauan. Les Insolindes, Insulinde, barangkali adalah istilah lain dari Nusantara yang menunjukkan kepada suatu kawasan yang terdiri dari berbagai pulau. Pengertian sempitnya, barangkali identik dengan wilayah yang sekarang menjadi wilayah negara Republik Indonesia dan budaya Melayu sehingga mencakup Malaysia Barat & Timur serta Brunei. Mungkin termasuk juga Filipina Selatan dan Muangthai Selatan serta Timor Leste.
Sedangkan dalam dunia sastra, saya kira istilah ini menunjukkan kepada karya-karya seni yang menggunakan berbagai bahasa di berbagai pulau dan daerah di wilayah Republik Indonesia sebagai sarana utama pengungkapan diri, pengungkapan rasa dan karsa. Jika pemahaman begini benar maka konsekwensi nalarnya, bahwa yang disebut sastra Nusantara, tidaklah sebatas karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sastra berbahasa Indonesia hanyalah menjadi salah satu saja dari sastra Nusantara atau sastra Indonesia.
Jika kita sepakat dengan pengertian Nusantara seperti ini maka kita akan memasukkan karya-karya besar seperti I La Galigo dari Tanah Bugis, Sansana Bandar, Sansana Kayau Pulang dari Tanah Dayak, pantun-pantun, gurindam dan seloka, karya-karya yang ditulis oleh warga dari etnik Indo sebagai bagian dari sastra Nusantara dan bukan hanya membatasinya pada karya-karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia “Modern” yang secara usia sangat pendek usianya dibandingkan dengan karya-karya tersebut dan yang kita sangat kurang indahkan. Sedangkan sastra Indonesia jauh lebih tua usianya daripada sastra berbahasa Indonesia. Membatasi cakupan sastra Nusantara pada yang berbahasa Indonesia “modern” lebih memperlihatkan kepongahan, kekenesan dan kecupetan atau sektarisme pandangan. Barangkali. Terdapat masalah jika dilihat secara ontologi sebagai sisa atau varian dari pandangan hegemonik “modernitas” dan yang disebut “besar” dan “puncak” sebagaimana yang dirumuskan dalam UUD ’45 dahulu.
Nusantara dan Indonesia adalah dua istilah berbeda makna jika dilihat dari periodisasi sejarah. Nusantara ada jauh sebelum Indonesia lahir. Sedangkan Indonesia dilihat dari segi politik menunjuk kepada wilayah Republik Indonesia. Wilayah Republik Indonesia ini, juga terdiri dari berbagai pulau dengan budaya masing-masing. Dengan sastra masing-masing pula. Kalau kita mengakui yang disebut Indonesia itu adalah wilayah Republik Indonesia maka sastra yang hidup dan terdapat di berbagai daerah dan pulau, termasuk sastra Indonesia juga, tidak hanya sebatas sastra berbahasa Indonesia. Tidak ada dominasi suku dan budaya besar atau kecil, yang bertentangan dengan prinsip bhinneka tunggal ika yang secara singkat disebut Indonesia dengan nilai republik sebagai perekat. Tapi di atas segalanya, barangkali yang perlu disepakati dahulu apakah yang disebut sastra Indonesia itu. Apakah hanya sebatas yang disebut karya-karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia ataukah juga yang dituangkan dalam bahasa-bahasa lokal. semua sastra, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau pun bahasa daerah, termasuk yang ditulis oleh orang-orang Indonesia di negeri orang, seniscayanya tergolong sastra Indonesia dan sastra Nusantara. Demikian juga sastra cyber — sebagai suatu perkembangan baru di dunia sastra kita. Tentu saja perkembangan dan keadaan ini, akan membuat pekerjaan pengamat sastra Indonesia akan makin tidak sederhana jika mereka berniat bekerja cermat saat berbicara tentang sastra Indonesia dalam pengertian saya di atas. Tapi dengan kecermatan demikian agar ketika berbicara tentang Indonesia, agar benar bahwa Indonesia itu terlukiskan secara representatif, mendorong kita untuk lebih mengenal diri sendiri, tanah air sendiri di samping mengenal sastra dari bagian-bagian dunia lain sebagai pembanding sesuai prinsip bhinneka tunggal ika dari skala global.
Sastra Nusantara, termasuk sastra Indonesia, pada prinsipnya adalah kebhinnekaan, ika dalam kemanusiaan. Kebhinnekaan, tidak berati pengurungan diri di bawah langit satu dua pulau atau kampung kecil ketika dunia menjadi sebuah kampung kecil dunia dan sejarah pun menunjukkan bahwa sastra berkembang tidak karena kecupetan tapi karena keterbukaan. Saya bahkan berhipotesa bahwa pada dasarnya nilai yang didukung oleh sastra itu bersifat universal yang dituang dengan warna-warna lokal. Karena pada galibnya kebudayaan etnik, nasional dan dunia, saya lihat tak ubah sebuah bénang dinding (patch works). Etnik dan bangsa hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan yang dilahirkan oleh kondisi sejarah tertentu sehingga kita perlu mengindahkannya guna mengejawantahkan kemanusiaan itu sendiri sesuai perkembangan dan proses.
Dengan menerapkan sastra Indonesia sebagai sebuah konsep luas yang mengakui adanya perkembangan sastra di berbagai pulau dan daerah sebagai dasar, maka sastra negeri kita akan makin marak dan kian berwarna. Kian mengakar dan tidak terkucil. Sastra menjadi suatu keperluan masyarakat seperti halnya sansana kayau di Tanah Dayak merupakan ungkapan diri masyarakat, mulai dari penangkap ikan, penakik karet, pendulang emas, sampai kepada pemotong rotan di hutan-hutan dan jumpa orang sekampung. Sansana kayau sebagai salah satu bentuk sastra sama sekali tidak terasing dari kehidupan,tidak menjadi milik hanya segelintir kelompok masyarakat yang sering sibuk dan asyik dengan diri sendiri serta menilai lebih diri mereka dari yang lain. Dunia seakan berputar di sekitar diri mereka. Karena itu bisa dilihat bahwa sastra Nusantara (les insulindes), termasuk sastra Indonesia, pada dasarnya adalah sastra kepulauan. Membatasi sastra Indonesia hanya pada yang berbahasa Indonesia, barangkali menyangkal ciri Indonesia itu sendiri dan menyederhanakan apa yang dinamakan Indonesia.
Sastra Nusantara artinya ada banyak karya sastra dari berbagai wilayah di Nusantara yang termuat di dalamnya. Terdapat banyak persamaan dan perbedaan di antaranya. Hal tersebutlah yang dapat dijadikan objek untuk perbandingan sastra.
Sastra bandingan, dalam penelitian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah ataupun dalam bidang ilmu lain, merupakan bagian dari sastra. Di dalamnya terdapat upaya bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, bagaimana pengaruh antarkeduanya, serta apa yang dapat diambil dan apa yang diberikannya. Atas dasar inilah penelitian dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu sastra ke sastra yang lain, kemudian dicari benang merahnya. Terkadang perpindahan ini bias dari segi lafadz- lafadz bahasa, tema, serta gambaran yang diperlihatkan sastrawan dalam tema, ataupun hubungan dengan karya seni lain.
Penelitian sastra bandingan berangkat dari asumsi bahwa karya sastra tidak mungkin terlepas dari karya-karya yang telah ditulis sebelumnya. Bisa dikatakan penelitian sastra bandingan tak mungkin dilepaskan dari unsur kesejarahannya. Karya sastra lahir pada masyarakat yang memiliki konvensi, tradisi, pandangan tentang estetika, dan tujuan berseni, yang kemungkinan justru merupakan “rekaman” terhadap pandangan masyarakat tentang seni. Yang lebih penting lagi, sastra amat mungkin berasal dari karya sebelumnya yang dianggap mainstream. Karya-karya besar biasanya yang mengilhami karya sastra selanjutnya. Akan tetapi bisa juga sebaliknya, karya besar justru lahir karena terinspirasi karya kecil yang dicipta sebelumnya.
Perkembangan sastra bandingan di Indonesia tidak lepas dari induknya, yaitu Prancis dan Amerika. Bagaimana telah dikemukakan di atas, perkembangan sastra bandingan di Indonesia memang tergolong lambat. Hal itu disebabkan oleh banyak orang yang beranggapan bahwa sastra bandinagan merupakan keilmuwan yang membutuhkan bekal lebih kompleks. Sastra bandingan di Indonesia secara garis besar dapat dibagidalam empat kelompok. Pertama, sastra bandingan dalam dalam kaitan studi filologi yang dikenal sebagai kritik teks. Kedua, sastra bandingan dalam hubungannya dengan sastra lisan. Ketiga, sastra bandingan modern, yakni sastra bandingan tulis. Keempat, sastra bandingan interdisipliner, artinya menyandingkan karya sastra dengan bidang lain di luar ilmu sastra.
Penelitian sastra bandingan di Indonesia masih dilihat sebagai bahan pelengkap pemahaman terhadap sastra Indonesia. Hal tersebut memang sangat beralasan, karena pertumbuhan sastra Indonesia selalu diikuti olah karya-karya terjemahan dan saduran dari Negara luar. Kadang-kadang sastra terjemahan lebih mendahului tumbuhnya karya-karya asli sastra Indonesia. Oleh karena itu untuk memahami sastra Indonesia sangat diperlukan uraian dan penjelasan karya asing di Indonesia.
Diakui atau tidak, kehadiran sastra lisan memang menjadi pematik kehadiran sastra bandingan. Cirri kelisanan justru memungkinkan terjadinya variasi penerimaan baik oleh pengarang maupun pembaca, sehingga dapat memunculkan tanggapan yang berbeda-beda. Kondisi inilah yang menyebabkan sastra liasan mengundang sejumlah perbedaan dan persamaan. Dongeng merupakan sastra lisan yang rentan terhadap variasi kisah yang secara otomatis dapat memunculkan ratusan, bahkan ribuan, dongeng lain. Motif cerita juga dapat digunakan untuk membandingkan dongeng-dongeng dari Indonesia dan Jepang. Beberapa motif tersebut misalnya motif seorang pemuda yang mengambil pakaian atau sayap dari seorang bidadari yang mandi dilaut atau disuatu tempat mandi, motif seorang putri yang lahir adri sebatang bamboo, serte motif seorang pemuda yang kawin dengan seorang putrid laut dan sesudah kawin si pemuda ingin kembali ke atas bumi.
Harus diakui bahwa pelacakan sastra lisan sering berbaur dengan penelitian sastra bandingan dan antropologi. Berbagai upaya Levi-Strauss dalam memahami dongeng, misalnya, seringkali juga tidak berbeda dengan cara kerja sastra bandingan. Meskipun penelitian mereka masih sering sebatas tema, tetapi sedikit banyak juga memiliki andil dalam mengangkat sastra bandingan ke tingkat dunia.
Sastra bandingan menjadi alternatif pemahaman sastra. Ketika cabang lain sudah menyerah, sastra bandingan justru bagai ladang basah dan empuk bagi yang hendak memahami sastra lebih dalam. Rumusannya tentang sastra bandingan sebagai metode dalam studi sastra mengaplikasikan dua cakupan. Pertama, satstra bandingan menyiratkan pengetahuan lebih dari satu bahasa, sastra, dan pengetahuan serta penerapan disiplin-disiplin ilmu lain suatu negara untuk studi sastra. Kedua, sastra bandingan mengandung ideologi yang mencakup “dunia sana”. Dunia sana meliputi sastra marjinal dalam berbagai makna kemarjinalitasannya, genrenya, berbagai jenis teksnya, dan sebagainya.
Rumusan Masalah
Bagaimana keterjalinan teks dan konteks pada sastra bandingan?
Bagaimana perbandingan antara kasya sastra Sunda, Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, dan Sumatera?
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui bagaimana keterjalinan teks dan konteks pada sastra Bandingan.
Untuk mengetahui bagaimana perbandingan antara karya sastra Sunda, Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, dan Sumatera.
BAB II
PEMBAHASAN
KETERJALINAN TEKS DAN KONTEKS PADA SASTRA BANDINGAN
Keterjalinan teks dan konteks sastra tidak mungkin terhindarkan. Dengan adanya komunikasi yang serba canggih, peristiwa teks yang satu dapat membonceng teks yang lain hampir selalu ada di mana-mana. Keterjalinan dan saling pengaruh antarkesusastraan serumpun itu dapat dilihat dengan hadirnya karya-karya warisan Hindu dalam kesusastraan Melayu yang tidak sedikit diantaranya merupakan saduran dari karya-karya yang sudah ada sebelumnya dalam kesusastraan Jawa. Sebaliknya, tidak sedikit karya warisan zaman Islam hadi dalam kesusastraan Jawa, Sunda, dan Madura bukan melalui sumber Arab dan Persia, melainkan melalui sumber-sumber dari kesusastraan Melayu.
Berbagai motif yang berkaitan dengan kutukan , kebijaksaan, dan kesaktian mewarnai cerita rakyat di Jawa, Sunda, Sulawesi Selatan, Sumatera, dan Bali. Barangkali itu pula sebabnya sastra bandingan yang membicarakan cerita rakyat Jawa, Sunda, Sulawesi Selatan, Sumatera, dan Bali lebih banyak membandingkan motif ceritanya. Sungguh unik , beberapa etnis yang memiliki bahasa berbeda, tetapi memiliki keterjalinan teks. Mungkin sekali kemiripan terjadi akibat adanya ide yang sama, mungkin pula ada kontak antar pencerita yang menguasai bahasa etnis lain, bahkan bisa terjadi melalui perantara bahasa Indonesia yang dikisahkan kembali dalam bahasa daerah. Apapun prosesnya, keterjalinan teks dapat dilacak oleh sastra bandingan.
Perbandingan yang dilakukan dengan melibatkan interdisipliner metode pendekatan estetika resepsi. Hal ini dimungkinkan karena ada satu bentuk karya sastra Jawa klasik, “Asmaradana”, yang diresepsi secara produktif oleh tiga sastrawan Indonesia modern, yaitu Danarto, Goenawan Mohamad, dan Subagio Sastrowadojo. Pembahasan demikian menunjukkan bahwa keterkaitan antar teks sastra sering terjadi resiprokal, atau timbal balik. Dalam konsepsi sastra bandingan tidak ada yang lebih dominan antara sastra lokal dan nasional. Keduanya bisa saling isi-mengisi. Keduanya saling berebut pengaruh dalam penciptaan teks-teks inovatif. Entah tujuan apa yang akan diraih oleh setiap sastrawan, tegasnya keterjalinan antar teks itu tetap perlu dilacak.
PERBANDINGAN ANTARA KARYA SASTRA SUNDA, JAWA, BALI, SULAWESI SELATAN, DAN SUMATERA
Sastra Sunda
Seperti hal-nya suku dan bangsa lain, masyarakat Sunda juga memiliki kekayaan budaya dalam bentuk karya sastra. Sejak abad ke 14, sudah ditemukan kebudayaan Sunda yang bekenaan dengan kesusastraan, misalnya saja bentuk karya sastra Carita Pantun. Kemudian keberadaan dan kehidupan karya sastra Sunda berkembang hingga saat ini. Banyak sekali sastrawan Sunda yang masih aktif menulis karya sastra Sunda (terutama Carita Pondok/Ceritra Pendek dan sajak), dan dipublikasikan melalui media massa serta dicetak dan diedarkan melalui buku. Bahkan ada sebagian sastrawan yang juga mempublikasikannya melalui media online dunia maya (jaringan internet).
Berkenaan dengan perkembangan itu, maka banyak kritikus sastra Sunda yang kemudian mengelempokan masa berkembangnya sastra Sunda ke dalam dua kelompok besar, yakni: 1) Sastra (Sunda) Lama, dan 2) Sastra (Sunda) Modern. Ciri utama dari sastra Sunda lama menurut periodesasi ini, ditandai dengan masanya; yaitu, jika sastra Lama lebih hidup ketika masa belum mengenal media tulis, dan peredarannya memlalui tradisi lisan. Misalnya saja segala jenis bentuk puisi mantra, jangjawokan, sisindiran, dll. Begitu pula dengan bentuk prosa, seperti dongeng, dll. Sedangkan ciri dari sastra modern, adalah bentuk karya sastra yang hidup dan berkembang pada masa media tulis/cetak, serta hidup dan berkembang melalui media massa cetak, buku dan media modern lainnya. Misalnya saja karya sastra Ceritra Pendek/Carita Pondok, Novel, sajak, dll. Ciri lain dari masa ini adalah adanya berbagai pengaruh luar/asing dalam bentuk dan isi karya sastra yang ditulis para sastrawannya.
Sastra (Sunda) Lama
Carita Pantun
Carita Pantun adalah bentuk karya sastra lama asli milik masyarakat Sunda, arti bentuk sastra ini tidak ditemukan di daerah lain. Carita pantun adalah bentuk karya sastra lisan yang sangat panjang, karena kalau diceritrakan biasanya memakan waktu hingga semalam suntuk. Juru Pantun adalah orang yang memiliki keahlian mantun, berceritra secara lisan, bagian-bagian narasi, dialog dan juga ngahaleuang(menyanyi). Pagelaran Carita Pantun biasa diiringi dengan alat musik kacapi.
Carita Pantun biasanya berisi tentang kisah para satria putra raja yang dibebani tugas berat, yang berjuang mengalahkan musuh-musuhnya seraya mengarungi berbagai halangan dan rintangan. Biasanya ceitra diakhiri dengan kisah bahagia; sang satria berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dan berhasil mengemban tugas beratnya. Setting tempat dan waktu Carita Pantun biasanya dikisahkan pada jaman kerajaan Sunda; Galuh dan Pajajaran (yang hidup dari abad ke-13 hingga abad ke-16).
Isi Carita Pantun biasanya terdiri dari bagian; Rajah pembuka, isi dan rajah penutup. Sedangkan contoh Carita Pantun yang terkenal adalah : 1) Lutung Kasarung, 2) Ciung Wanara, 3) Mundinglaya Dikusumah.
Dongeng
Seperti hanya di daerah lain, di Daerah Sunda ada bentuk karya sastra yang disebut dongeng. Dongeng adalah jenis ceritra yang umumnya berbentuk pendek. Ciri yang menonjong dari karya dongeng adalah adanya ceritra yang mustahil terjadi, baik darijalan ceitranya, tokohnya maupun tempat dan waktu terjadinya ceritra. Dilihat dari bentuknya, dongeng termasuk jenis karya sastra Prosa (ugeran) walaupun ada kalanya dongeng juga mengandung bentuk karya sastra puisi, yang biasa disebut kawih.
Kalau dilihat isinya, dongeng dapat dibagi jadi beberapa bagian :
Dongeng yang menceritakan tentang kisah, ceritra dan sejarah seseorang, misalnya para raja, tokoh, nabi, wali, serta manusia biasa. Contoh Dongeng “Prabu Siliwangi”, “Kean Santang”, “Si Kabayan”, dll. (Disebut Dongeng Farabel)
Dongeng yang menceritakan kehidupan binatang, seperti dongeng: “Kuya Monyet”, “Peucang”, dll. (Disebut dongeng Fabel)
Dongeng yang menceritakan asal-usul satu tempat, benda, gunung, sungai. Contohnya: dongeng “Sasakala Gunung Tangkuban Parahu”, “Asal Mula Nagara Baduy”, dll. (Disebut dongeng Sasakala/Legenda).
Dongeng yang menceritakan mahluk gaib, hantu, siluman, dll. (Disebut dongeng Mite).
Mantra
Mantra adalah salah-satu bentuk karya sastra Sunda lama yang berbentuk puisi.
Puisi mantra dahulu dianggap memiliki kekuatan gaib. Diucapkan untuk memenuhi suatu tujuan tertentu. Jenis-jenis mantra diantaranya : asihan, jangjawokan, ajian, singlar, rajah dan jampe.
Sisindiran
Sisindiran adalah bentuk karya sastra Sunda yang berbentuk puisi (berupa bait dan baris). Dalam sastra Indonesia, sisindiran sanma dengan pantun. Yakni puisi yang terdiri dari bagian sampiran/cangkang, dan bagian isi/eusi. Ada dua jenis sisindiran, yakni sisindiran Paparikan dan sisindiran Rarakitan.
Bedanya, dalam sisindiran paparikan hanya ada persamaan bunyi, contoh:
Meuncit meri dina rakit
Boboko wadah bakatul
Lain nyeri ku panyakit
Kabogoh direbut batur.
Sedangkan dalam sisindiran rarakitan, ada bagian cangkang/sampiran, diulang di bagian isi/eusi, contoh :
Sok hayang nyaba ka Bandung
Hayang nyaho nanjakna
Sok hayang nanya nu pundung
Hayang nyaho nyentakna
Sastra (Sunda) Modern
Carita Pondok/Cerita Pendek
Carita Pondok atau Carpon adalah salah-satu bentuk karya sastra Sunda modern yang ditulis dalam bentuk prosa. Cerita pendek termasuk bentuk karya sastra moderen, karena mulai die kenal dalam sastra Sunda sekitar tahun 1929. Carita Pondok ditulis dan disebarluaskan melalui media buku, koran dan majalah hingga saat ini. Kumpulan Carita Pondok pertama dalam sastra Sunda, diterbitkan tahun 1930, yang berjudul “Dogdog Pangrewong” Karangan GS, sedangkan kumpulan cerpen dalam sastra Indonesia baru terbit tahun 1936, yaitu “Teman Duduk” karya Muh. Kasim.
Hingga saat ini carpon dalam sastra Sunda masih terus ditulis oleh para sastrawan Sunda. Dimuat dalam bentuk buku, dimuat dalam koran, majalah, bahkan media online (internet).
Sajak
Sajak dulu disebut puisi bebas, karena sajak memang karya sastra yang ditulisdalam bentuk puisi (bait dan baris), yang tidak memiliki kaidah jumlah bait, baris serta persamaan bunyi. Sajak adalah puisi yang ditulis secara bebas.
Seperti juga carpon, sajak ditulis dan disebar-luaskan oleh para penyair Sunda hingga saat ini. Dimuat dalam bentuk buku, dimuat di majalah koran bahkan media online.
Novel
Novel adalah karya sastra yang ditulis dalam bentuk prosa yang panjang. Jalan ceritanya banyak bagian-bagiannya. Begitu pula dengan tokoh yang diceritrakannya. Novel diterbitkan dalam bentuk buku.
Dalam sejarah novel Sunda sudah ditulis dan dibukukan sejak tahun 1914. Novel pertama dalam sastra Sunda; “Baruang Kanu Ngarora/Racun Untuk Kaum Muda”, karangan DK. Ardiwinata diterbitkan tahun 1914, enam tahun lebih dahulu dibandingkan dengan novel dalam sastra Indoensia, yaitu “Azab Dan Sengsara” karangan Merari Siregar yang baru terbit pada tahun 1920.
Novel dalam sastra Sunda terus berkembang dan ditulis serta diterbitkan hingga saat ini.
Sastra Sunda (Jawa Barat): Pantun Sunda, Seni sastra lisan ini merupakan penceritaan bersyair orang Sunda (Jawa Barat) dengan diiringi oleh musik kecapi. Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum atau sesudah upacara tradisional misalnya pernikahan dan merupakan hiburan tunggal. Juru pantun menyanyi sesuai irama kecapi yang ia petik dalam skala pentatonik (lima nada). Kecapi Sunda itu biasanya berbentuk perahu dengan 18 senar.
Pantun Sunda biasanya berisi kisah cerita dari masa Kerajaan Hindu Pajajaran. Cerita ditampilkan secara bersamaan antara percakapan dan nyanyian. Salah satu pantun Sunda yang terkenal adalah Lutung Kasarung, syairnya terdiri atas 1.000 baris dan berasal dari abad XV. Semula, tradisi ini disampaikan oleh pendongeng profesional yang berkelana dari desa ke desa. Maksudnya untuk mengajarkan kepercayaan agama, sejarah, mitologi, sopan santun, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, tradisi ini berubah menjadi cerita anak-anak.
Sastra Sunda adalah karya kesusastraan dalam bahasa Sunda atau dari daerah kebudayaan suku bangsa Sunda atau di mana mereka memberikan pengaruh besar. Sastra Sunda yang mulai muncul pada abad ke-15, awalnya dituliskan di atas daun lontar, dan kemudian di atas kertas. Aksara yang dipakai adalah aksara Sunda Kuno, aksara Sunda-Jawa (Sunda: cacarakan), dan juga huruf Arab.
Sastra Jawa
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuno).
Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
Sastra Jawa Kuno
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan dia juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie dia mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Karya-karya Sastra Jawa Kuno
Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa
Candakarana
Sang Hyang Kamahayanikan
Brahmandapurana
Agastyaparwa
Uttarakanda
Adiparwa
Sabhaparwa
Wirataparwa, 996
Udyogaparwa
Bhismaparwa
Asramawasanaparwa
Mosalaparwa
Prasthanikaparwa
Swargarohanaparwa
Kunjarakarna
Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin)
Kakawin Tertua Jawa, 856
Kakawin Ramayana ~ 870
Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030
Kakawin Kresnayana
Kakawin Sumanasantaka
Kakawin Smaradahana
Kakawin Bhomakawya
Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157
Kakawin Hariwangsa
Kakawin Gatotkacasraya
Kakawin Wrettasañcaya
Kakawin Wrettayana
Kakawin Brahmandapurana
Kakawin Kunjarakarna, mpu “Dusun”
Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365
Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
Kakawin Sutasoma, mpu Tantular
Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka
Kakawin Parthayajna
Kakawin Nitisastra
Kakawin Nirarthaprakreta
Kakawin Dharmasunya
Kakawin Harisraya
Kakawin Banawa Sekar Tanakung
Sastra Jawa Tengahan
Sastra jawa pada akhir abad ke-19 digolongkan sebagai sastra jawa pramodern. Pada dekade ini lahirlah karya yang mempunyai warna dengan karya sebelumnya. Karya-karya pada periode itu pada umunya berbentuk prosa, yakni berupa kisah, perjalanan, babad, roman sejarah, novel, dongeng, dan cerita perwayangan. Namun sebagian kecil juga masih berbentuk tembang macapat. Kisah perjalanan merupakan cerita tentang perjalanan seseorang ke suatu daerah. Alurnya meliputi dalam perjalanan, di tempat tujuan dan kembali dari tempat tujuan. Latarnya bersifat kongret artinya, mengunakan daerah-daerah yang ada di jawa seperti, Magelang, Banyuwangi, dan lain-lain.
Tokoh yang terkenal pada saat itu adalah Kiai Padmosastro. Karyanya berjudul seret rangsa tuban. Munculnya serat riyanto karya R.M.Sulardi pada tahun 1920 dinilai sebagai era tradisi baru dalam sastra jawa. Situasi sosial budaya jawa pada akhir abad ke-19 sampai pada tahun 1920 dapat di tandai bahwa sastra jawa selalu mengalami perubahan menuju ke permodernan. Munculnya Serat Riyanto merupakan bukti telah terjadinya babak baru dalam sejarah sastra jawa. Inilah yang menjadi dasar lahirnya sastra jawa modern.
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali.
Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan prosa
Tantu Panggelaran
Calon Arang
Tantri Kamandaka
Korawasrama
Pararaton
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan puisi
Kakawin Dewaruci
Kidung Sudamala
Kidung Subrata
Kidung Sunda
Kidung Panji Angreni
Kidung Sri Tanjung
Sastra Jawa Baru
Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting.
Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini. Para penulis ‘ensiklopedia’ ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuno.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuno. Kitab-kitab kuno yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
Daftar Karya Sastra Jawa Baru
Masa Islam : Kidung Rumeksa ing Wengi, Kitab Sunan Bonang, Primbon Islam, Suluk Sukarsa, Serat Koja Jajahan, Suluk Wujil, Suluk Malang Sumirang, Serat Nitisruti, Serat Nitipraja, Serat Sewaka, Serat Menak, Serat Yusup, Serat Rengganis, Serat Manik Maya, Serat Ambiya, Serat Kandha
Masa Pembaharuan dan sesudahnya
Serat Rama Kawi
Serat Bratayuda, Kyai Yasadipura
Serat Panitisastra
Serat Arjunasasra
Serat Mintaraga, Ingkang Sinuwun Pakubuwana III
Serat Darmasunya
Serat Dewaruci
Serat Ambiya Yasadipuran, Kyai Yasadipura
Serat Tajusalatin
Serat Cebolek
Serat Sasanasunu
Serat Wicara Keras
Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsita
Serat Paramayoga, Raden Ngabehi Ranggawarsita
Serat Jitapsara
Serat Pustaka Raja
Serat Cemporet
Serat Damar Wulan, Raden Panji Jayasubrata, 1871
Serat Darmagandhul
Babad-Babad
Babad Giyanti
Babad Prayut
Babad Pakepung
Babad Tanah Jawi
Sastra Jawa Modern
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.
Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karya sastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah tentang perjalanan.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata Belanda.Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.
Sastra jawa modern adalah sastra jawa yang telah mendapat pengaruh kebudayaan barat atau sastra jawa yang lahir semenjak zaman balai pustaka. Kelahirannya diawali dengan terbitnya roman atau novel Serat Riyanto karya R.M.sulardi (1920). Genre sastra jawa modern dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:(1) fiksi,(2)puisi,dan (3) drama. Fiksi adalah jenis karya sastra yang berisi kisah yang direka. Pada umumnya berbentuk prosa, sedangkan puisi adalah ragam jenis sastra yang bahasanya terikat oleh rima, sajak sesuai penyusunan lirik dan bait. Genre fiksi meliputi novel, cerpen dan epik. Istilah novel tumbuh bersama-sama dengan roman. Novel menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang luar. Luar biasa karena pada kejadian itu lahir suatu konflik, pertikaian, yang menggunakan jurusan nasib mereka. Wujud novel ialah kosentra permusatan, kehidupan dalam suatu saat.
Karya-karya Sastra Jawa Modern
Lelampahaning Purwalelana, Raden Mas Purwalelana (jeneng sesinglon) 1875-1880
Rangsang Tuban, Padmasoesastra, 1913
Ratu, Krishna Mihardja, 1995
Tunggak-Tunggak Jati, Esmiet
Lelakone Si lan Man, Suparto Brata, 2004
Pagelaran, J. F. X. Hoery
Banjire Wis Surut, J. F. X. Hoery
Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa Tengahan. Selain itu, ada pula Sastra Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-Palembang.
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.
Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa menjajah Indonesia, termasuk Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa Jawa.
Sastra Jawa
Karya Sastra Jawa dapat dibagi berdasarkan kategori isi menjadi:
Sejarah : Teks Sejarah mencakup segala macam babad yang menceritakan peristiwa historis dan legendaris, sejak penciptaan dunia sampai dengan Perang Dunia I.
Silsilah : Banyak di antara teks sejarah juga mengandung penjabaran silsilah para raja Jawa. Dalam bagian ini, hanya naskah yang secara eksplisit terfokus pada silsilah yang termasuk.
Hukum : Teks berisi uraian tentang hukum, peraturan dan adat-istiadat di kraton Jawa.
Bab Wayang : Teks yang termasuk dalam kategori “wayang” ini kebanyakan dikarang dalam bentuk prosa dan berisi pakem (ringkas atau lengkap) untuk lakon-lakon wayang purwa, madya, golek, gedhog, wong. Kategori ini juga mencakup tentang ruwat, pedalangan, dan pembuatan wayang.
Sastra Wayang : Kebanyakan teks ini merupakan saduran langsung dari pakem wayang, digarap dalam bentuk tembang macapat.
Sastra : Kategori ini yang paling luas di antara kategori yang dipakai, dan paling sulit untuk didefinisikan. Secara kasar, semua cerita yang digubah dalam bentuk prosamaupun puisi, yang menceritakan peristiwa yang tidak dianggap sebagai peristiwa historis, inilah yang tergolong disini.
Piwulang : Golongan teks yang memberi ajaran para orang saleh, suci dan bijaksana. Sebagian mementingkan keislaman dalam ajaran tersebut, tetapi sebagian besar mementingkan kejawen. Juga termasuk Sastra Suluk.
Islam : Teks tentang fiqih, sarat dan hukum Islam, maupun teks turunan teks kitab suci Al-Qur’an. Kebanyakan teks ini ditulis dengan huruf Arab atau Pegon, dan berisi kutipan panjang dalam bahasa Arab.
Primbon : Segala macam teks mengenai kumujuran serta kemalangan berdasarkan ilmu-ilmu tradisional, termasuk buku petangan, pawukon, impen, dan sebagainya.
Bahasa : Teks tentang bahasa serta kesusastraan Jawa, terutama jenis kamus. Juga terdapat teks tentang tembang, aksara Jawa, candrasengkala, daftar sinonim, wangsalan dan sebagainya.
Musik : Notasi gendhing Jawa dari Surakarta dan Yogyakarta, dan catatan-catatan lain tentang dunia gamelan.
Tari-tarian : Teks tentang seni tari Jawa dan kelengkapannya, termasuk tari wireng, tayub, bondhan, kridharini, srimpi dan bedhaya.
Adat-istiadat : Teks tentang berbagai macam kebiasaan dan kerajinan di Jawa, baik di kalangan rakyat kecil maupun kraton, termasuk cara berpakaian, songsong, mainan, sopan santun dalam istana, sadranan, keris dan para empu, kawruh kalang, upacara, dan sebagainya.
Sastra Bali
Untuk lebih memahami tentang jenis-jenis sastra Bali, maka dengan ini saya mencoba menguraikan sastra Bali dari 4 (empat) tinjauan, yaitu sastra Bali: (1) berdasarkan kondisi empiris dan pragmatis, (2) berdasarkan cara, teknik/tradisi penyajian, (3) berdasarkan struktur penulisan, dan (4) berdasarkan struktur, corak dan waktu pertumbuhkembangannya. untuk lebih jelasnya dapat dipaparkan sebagai berikut.
Berdasarkan Kondisi Empiris dan Pragmatis
Berdasarkan kondisi empiris dan pragmatisnya, sastra Bali dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
Secara Struktural
Secara struktural sastra Bali merupakan himpunan dari karya-karya sastra yang berbahasa Bali, baik bahasa Bali Tengahan maupun bahasa Bali Baru. Tinjauan ini didasarkan atas konstruksi yang membentuk suatu bangun karya sastra Bali. Bahasa nerupakan aspek mendasar dalam mengkonstruksi suatu karya sastra dan selanjutnya dapat memberikan ciri khas terhadap karya sastra tersebut yang dapat membedakannya dengan karya sastra lain. Begitu juga halnya dengan bahasa Bali.
Sebagai aspek mendasar dalam mengkonstruksi karya-karya sastra Bali, bahasa Bali dapat menjadi suatu ciri khas bagi karya-karya sastra lainnya. Adapun contoh dari karya-karya sastra Bali yang termasuk dalam kategori ini adalah gegendingan/dolanan, pupuh (geguritan), pralambang (pribahasa), babad, satua, cerpen, novel, roman, drama dan puisi-puisi Bali modern.
Secara Fungsional
Secara fungisonal, di samping merupakan karya-karya sastra yang berbahasa Bali, sastra Bali juga meliputi karya-karya sastra (yang berbahasa Jawa Kuna (Kawi). Tinjauan ini didasarkan atas penggunaan karya-karya sastra Jawa Kuna dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat Bali, terutama pada aspek relegi ataupun keagamaan. Sastra Jawa Kuna memiliki kedudukan yang signifikan dalam aktivitas relegi atau keagamaan (Hindu) pada masyarakat Bali. Bahkan, karya-karya sastra Jawa Kuna tersebut telah dianggap sebagai “milik” masyarakat Bali karena adanya kedekatan maupun keakraban terhadap karya sastra tersebut.
Adapun contoh karya-karya sastra Jawa Kuna, sebagai karya sastra Bali secara fungsional tersebut adalah kidung, wirama, palawakia, kanda-kanda dan parwa-parwa.
Berdasarkan Cara, Teknik, atau Tradisi Penyajian
Klasifikasi sastra Bali berdasarkan cara, teknik, atau tradisi penyajiannya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: sastra lisan dan sastra tulis.
Sastra Lisan (Sastra Gantian, Sastra Tutur)
Menurut Wayan Budha Gautama, sastra lisan juga disebut kesusastran pretakjana (2007: 31). Sastra Bali dalam bentuk lisan merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai teks-teks yang disampaikan secara oralty, yaitu dari mulut ke mulut antara penutur dan pendengar. Proses dalam penyampaian tersebut berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi dalam berbagai versi maupun variasi.
Dalam perkembangannya, sastra (Bali) lisan tersebut telah banyak yang ditulis. Di samping itu, karya-karya tersebut juga ditransformasikan ke dalam bentuk karya sastra tulis, seperti ke dalam geguritan dan peparikan. Sastra Bali dalam formulasi ini juga dapat dikaji melalui perspektif folklor, yaitu suatu ilmu tentang budaya, yang cenderung sebagai budaya lisan, yang telah mengakar pada susatu masyarakat tertentu. Adapun yang termasuk ke dalam sastra lisan ini adalah tembang ( puisi ) berupa gegendingan/dolanan dan gancaran (prosa) berupa satua-satua Bali.
Contoh sastra lisan dalam bentuk tembang ( puisi ), yaitu gegendingan atau nyanyian anak-anak (made cenik, goak maling taluh,dan lain-lain).
Contoh lisan dalam bentuk gancaran ( prosa ), diantaranya Satua Pan Balang Tamak, Satua I Siap Selem, Satua I Bawang Teken I Kesuna, Satua Men Cubling, Satua Pan Angklung Gadang, dan lain-lain.
Sastra Tulis (Sesuratan)
Sastra tulis (sesuratan) juga dikenal dengan nama “kesusastran sujana” oleh Wayan Budha Gautama (2007: 32). Satra Bali dalam bentuk tulis merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai teks-teks yang tertuang dalam naskah-naskah tulisan tangan (manuskrips) maupun cetakan, baik berupa lontar, tembaga, maupun kertas. Sastra tulis ini merupakan perkembangan dari sastra lisan sebelumnya ketika masyarakat Bali telah mengenal aksara (huruf).
Sastra lisan lebih mementingkan makna yang terkandung di dalamnya daripada bentuk yang tersaji, sedangkan sastra tulis, adanya bentuk yang tersaji secara tertulis tersebut merupakan suatu rangkaian tanda yang dapat menjadi jembatan untuk menelusuri jejak-jejak makna yang terkandung di dalamnya. Adapun yang termasuk dalam sastra tulis yaitu:
Terikat, yaitu tembang ( puisi ); sekar rare (gegendingan/dolanan), sekar alit (pupuh), sekar madya (kawitan/kidung), dan sekar agung (wirama) serta peparikan.
Bebas, yaitu gancaran ( prosa ) dan babad.
Berdasarkan Bentuk/Struktur Penulisan
Berdasarkan bentuk/struktur penulisannya, sastra Bali dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu: puisi (tembang), prosa (gancaran), dan prosa liris (palawakia).
Puisi (Tembang)
Sastra Bali dalam bentuk puisi (paletan tembang) ini merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai suatu karangan dengan pola yang terikat. Seperti karakteristik puisi pada umumnya, kesusastraan Bali dalam hal ini tampil dengan suatu pola yang terstruktur oleh konvensi-konvensi tertentu yang mengikat dan memberikan karakter yang tertentu pula.
Contoh sastra Bali dalam bentuk puisi (tembang), yaitu gegendingan/dolanan, pupuh, kidung, wirama, babad dalam bentuk geguritan/peparikan, dan puisi- puisi Bali Modern.
Prosa (Gancaran)
Sastra Bali dalam bentuk prosa (gancaran) merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai suatu karangan (fiksi) dengan pola yang bebas. Dalam hal ini, sastra Bali tampil sebagai suatu karangan yang tidak begitu terikat oleh bentuk yang mengemas seperti pada bentuk puisi di atas. Walaupun demikian, adanya hal-hal mendasar dalam prosa (fiksi) merupakan suatu struktur atau unsur yang signifikan dalam mengonstruksi karya-karya sastra prosa tersebut.
Contoh sastra Bali dalam bentuk prosa, yaitu babad, satua, cerpen, novel, dan drama.
Prosa Liris (Palawakia)
Sastra Bali dalam bentuk prosa liris prosa liris (palawakia) merupakan karangan bebas, yang tidak terikat dengan aturan seperti prosodi dan metrum seperti pada puisi (tembang). Palawakia merupakan karangan bebas yang dibaca dengan cara diiramakan/dilagukan. Umumnya palawakia menggunakan bahasa Jawa Kuna/Tengahan.
Contoh sastra Bali dalam bentuk palawakia, yaitu Astadasa Parwa (dalam Kakawin Mahabharata) seperti Adi Parwa sampai dengan Swarga Rohana Parwa, Sapta Kanda (dalam Ramayana) seperti Bala Kanda sampai dengan Uttara Kanda, dan lain sebagainya.
Berdasarkan Struktur, Corak dan Waktu Pertumbuhkembangannya
Berdasarkan struktur corak dan waktu pertumbuhkembangannya, sastra Bali dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu: (1) sastra Bali purwa (klasik/lama/kuno), dan (2) sastra Bali anyar (baru/modern).
Sastra Bali Purwa
Sastra Bali purwa (klasik/lama/kuno) merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai sastra yang bercorak dan bersifat tradisi atau warisan secara turun-temurun dari masa lampau. Sastra Bali dalam hal ini juga disebut sebagai sastra Bali tradisional sebagai himpunan karya-karya sastra yang dibangun atas struktur tradisional, baik dalam konvensi, tema, tokoh, maupun motif cerita yang ditampilkan. Pada karya-karya sastra tersebut dapat dijumpai adanya nilai-nilai luhur yang telah hidup dan dianut oleh masyarakat Bali sejak masa lampau sabagai nilai-nilai yang adiluhung. Contoh sastra Bali purwa, yaitu tembang, gancaran, dan palawakia.
Sastra Bali Anyar
Sastra Bali anyar (baru/modern) merupakan formulasi dari sastra sebagai suatu pola atau tipologi sastra yang muncul pada masa kolonial dengan adanya pengaruh dari sastra Indonesia maupun Barat. Pada masa kolonial, sastra Barat, seperti novel, cerpen (short story), dan puisi-puisi (poetry) Barat, mulai masuk ke Indonesia. Pola-pola sastra tersebut diterima dalam sastra Indonesia melalui suatu adopsi dan adaptasi, sehingga lahirlah sastra Indonesia Modern.
Perkembangan sastra Indonesia yang demikian turut mempengaruhi perkembangan sastra Bali, sehingga pola-pola sastra tersebut juga diinternalisasi ke dalam sastra Bali. Hal ini ditunjukkan oleh lahirnya novel-novel, cerpen-cerpen (satua bawak), maupun puisi-puisi Bali modern yang tentunya menggunakan bahasa Bali. Pola sastra tersebut merupakan contoh-contoh dari sastra Bali anyar tersebut. Contoh sastra Bali anyar, yaitu puisi dan prosa
Ciri-ciri bahasa Bali Tengahan
Pemakaiannya lebih menonjol dalam bidang peraturan-peraturan
Adanya penggunaan tingkat-tingkatan bahasa, namun tidak seketat dalam anggah-ungguhin bahasa Bali Kapara.
Dipakai oleh Pengawi(Pengarang) dalam karya sastra.
Merupakan perpaduan antara bahasa Bali Kuna, Sansekerta,dan Baru.
Bahasa Bali tengahan digunakan dalam bidang seni tertentu antara lain seni topeng,prembon dan wayang.
Digunakan dalam sesontengan pemangku ataupun balihan
Sastra Sulawesi Selatan
Banyak orang terharu, terenyuh, atau terpukau ketika menikmati seuntai syair atau puisi. Segi apakah yang menyebabkan puisi menarik perhatian orang? Berdasarkan penafsiran subjektif, jawaban pertanyaan itu dapat beraneka ragam. Persoalan yang dikemukakan atau bentuk penyajian dapat menjadi penyebab keindahan puisi. Namun, pada dasarnya isi dan bentuk atau tema dan struktur secara bersama-sama menjalin keindahan puisi. Kedua aspek itu merupakan kesatuan yang utuh yang saling mendukung. Keserasian antara bunyi yang merdu, imajinasi yang dibangun, pemikiran yang dituangkan, watak yang dimunculkan, dan majas khas yang digunakan merupakan ramuan keapikan puisi.
Meskipun puisi dibentuk oleh banyak unsur, dalam kenyataannya sering hanya satu atau beberapa unsur yang menonjol. Keindahan unsur yang mencuat itulah yang acapkali dijadikan jawaban atas pertanyaan mengenai hal itu. Pesona puisi itu dapat terjadi karena, misalnya, citraan yang dominan. Istilah citraan dalam puisi dapat sering dipahami dalam dua cara. Yang pertama, dipahami secara reseptif dari sisi pembaca.
Dalam hal ini citraan merupakan pengalaman indera yang terbentuk dalam rongga imajinasi pembaca, yang ditimbulkan oleh sebuah kata atau rangkaian kata. Yang kedua, dipahami secara ekspresif, dari sisi penyair, yakni ketika citraan merupakan bentuk bahasa (kata atau rangkaian kata) yang dipergunakan oleh penyair untuk membangun komunikasi estetik atau untuk menyampaikan pengalaman inderanya.
Hal ini senada dengan Segers (1978: 43) yang secara jelas mengatakan bahwa penggunaan kata yang konkret dan khas dan penataan kata-kata itu dalam larik dan bait sedemikian rupa sehingga menggugah timbulnya imaji disebut pengimajian atau pencitraan.
Ada beberapa jenis citraan yang dapat ditimbulkan puisi, yakni sebagai berikut.
Citraan Penglihatan dalam puisi Citraan penglihatan ditimbulkan oleh indra penglihatan (mata). Citraan ini merupakan jenis yang paling sering digunakan penyair. Citraan penglihatan mampu memberi rangsangan kepada indra penglihatan sehingga hal-hal yang tidak terlihat menjadi seolah-olah terlihat.
- Bugis Siduppa matana caqberuna
Ia na napobua sitaro sengerennge
Sisengeq rimula wenni
Sibali sengeq topa rigiling tinrona (Sikki, dkk.: 24)
Terjemahan: Bila bertemu pandang
Maka ia tersenyum
Hasilnya saling memeram kasih
Saling berkasihan di awal malam
Sampai ke bilik tidurnya
- Makassar Sirik paccea ri katte
Punna rapang belo-belo
Sikamma cinik
Sikamma mammuji ngaseng (Nappu, 144)
Terjemahan: Sirik dan pacce milik kita
Ibarat dekorasi
Yang memandang Pasti terpesona Murmahyati,
Citraan dalam Puisi Daerah Sulawesi Selatan 107
- Mandar Ia iannamo lopi
Sundallaq lanterana
Iqdami tuqu Natanduq kappal api (Sikki, dkk.: 108)
Terjemahan: Yang mana saja perahu
Yang menyala terang lenteranya
Tidaklah ia Ditabrak kapal api
- Toraja Moina bulan kitiro
Moi anna bentoen
Tae padanna
Kematanta sitiro (Jemmain, hlm: 16)
Terjemahan: Biar kami memandang bulan
Biar memandang bintang
Takkan serupa
Bila kita bertemu pandang
Pada kutipan diatas jelas terlihat adanya citra penglihatan, adanya kata siduppa matana ‘bertemu pandang’, sikamma cinik ‘yang memandang’, sundallaq ‘yang menyala terang’, moina ‘memandang’ semakin memperkuat kesan dan maknapuisidalam bahasa bahasa kias lainnya.
Citraan Pendengaran dalam Puisi Citraan pendengaran berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga). Citraan ini dapat dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara, misalnya dengan munculnya diksi sunyi, tembang, dendang, suara mengiang, berdentum-dentum, dan sayup-sayup.
Bugis Maladenni ronnang wenni e
Baja maegatona
Lalo tenripaseng (Sabriah, 1997: 140)
Terjemahan: Sudah larut malam
Angin sudah banyak juga
Lewat tanpa pesan
Makassar Takunjungak bangung turuk
Nakuguncirik gulingku
Kualleanna
Tallanga natoalia
Terjemahan: Takkan kuturutkan alunan arus
Kemudi terlah kupasang
Aku lebih sudi tenggelam
Daripada surut kembali
Mandar ummarraq sida sangiq aqdappangammaq todiq iqdai ulle sessa tammallawangang
Terjemahan: meraung merintih bersama tangis beri ampunlah aku aku tak mampu disiksa tak henti-hentinya
Toraja Kenna tang oni totosik
Kulu-kuluna panggalaq
Kamimi dikkaqna kami
Mate tang ditangiqi (Jemmain, hlm.: 11)
Terjemahan: Andai bukan bunyi burung hantu
Unggas-unggas rumba
Kasihanilah kami ini
Mati tak ditangisi
Citraan pendengaran yang terdapat dalam beberapa kata yang melengkapi kalimat puisi di atas, yakni,baja maegatona, lalo tenripaseng ‘angin sudah banyak juga, lewat tanpa pesan’, takunjungak Gramatika, Volume I, Nomor 2, Juli—Desember 2013 108 bangung turuk ‘takkan kuturutkan alunan arus’, ummarraq sida sangiq‘meraung merintih bersama tangis’, dan kenna tang oni totosik ‘andai bukan bunyi burung hantu’. Wujud citraan di atas divisualisasikan dengan jelas oleh penyair pada aktivitas yang bisa di dengar oleh pancaindera
Citraan Penciuman dalam puisi Citraan penciuman atau pembauan disebut juga citraan olfactory. Dengan membaca atau mendengar kata-kata tertentu, kita seperti mencium bau sesuatu. Citraan atau pengimajian melalui indra penciuman ini akan memperkuat kesan dan makna sebuah puisi.
Bugis Mangidengi camanik e
Tebbu surekna tappangeng
Panreng pole polipu
Manyamenniro nyawana (Sabriah, 1997: 224)
Terjemahan: Anak mungil Sagala itu
Mengidamkan sesuatu
Nenas dari palipu
Sudah tenang perasaannya
Makassar Puangi bunga ejaya
Makatutui rasanna
Manna mabauk
Teai mabauk dudu (Mathes, 1983: 425)
Terjemahan: Sampaikan si kembang merah
Agar baunya dijaga
Walaupun harum
Jangan terlalu semerbak
Mandar Diang pandeng mane kambang tuo di rappaq lembong minang dipala minangi namasarri
Terjemahan: ada gadis beranjak dewasa tumbuh pada buih gelombang semakin dipakai semakin harum
Toraja Tongan mintu tapau
Deen bunga inde banna
Bunga tonna leppang batik
Tanna saile olli (Jemmain, hlm.: 8)
Terjemahan: Betul yang kau katakan
Di rumah ini ada bunga
Bunga yang tak disinggahi belalang
Tak dipandang ulat
Jika diamati dalam keempat kutipan puisi daerah di atas, tampak sekali betapa dalam penggambaran citra penciuman yang tertuang di dalamnya. Penggambaran itu memang sangat abstrak, tetapi di balik keabstrakan itulah terdapat makna yang sangat dalam. Kata-kata itu adalah panreng pole polipu ‘nenas dari palipu’, teai mabauk dudu ‘jangan terlalu semerbak’, minangi namasarri‘semakin harum’ dan tongan mintu tapau, deen bunga inde banna ‘betul yang kau katakan, di rumah ini ada bunga.
Citraan Pencicipan atau Pencecapan dalam Puisi Citraan pencicipan disebut juga citraan gustatory, yakni citraan yang muncul dari puisi sehingga kita seakan-akan mencicipi suatu benda yang menimbulkan rasa asin, pahit, asam, manis, ataupedas.
Bugis Deknaro peddi padanna
Purani sipakkalu
Magi namassala (Sabriah, 1997: 237)
Murmahyati, Citraan dalam Puisi Daerah Sulawesi Selatan 109 Terjemahan: Sungguh pedih rasanya
Sudah pernah seia sekata
Tiba-tiba berpisah
Makassar Kuntungku laklasak tembang
Jappok lure sikaranjeng
Kupattunrangi
Lesseka sigigi jangka (Basang, 1988: 90)
Terjemahan: Biar aku hancur bagai ikan tembang
Busuk seperti ikan teri
Aku bersumpah
Tak akan mundur segigi sisir
Mandar Nagilingangmaq gajangna
Nasangaq na matindong
Kopi loppaqu Meqakkeq di bojaqu
Terjemahan: Digeserkannya kepadaku kerisnya
Disangkanya aku akan lari
Kopi panasku
Ketika aku berangkat dari rumah
Toraja Diona tetukna rinding
Ri tanggana manangnga
Natidukunni Penawa golla-golla (Jemmain, hlm.: 15)
Terjemahan: Aku di sudut dinding
Di tengah-tengah pemele
Tempat berkumpul Hati dan budi yang manis
Dalam analisis citraan ini dijumpai adanya kata maupun kalimat yang mengandung unsur citraan pengecap atau rasa, yaitu deknaro peddi padanna ’sungguh pedih rasanya’, jappok lure sikaranjeng ‘busuk seperti ikan teri’, kopi loppaqu ‘kopi panasku’ dan penawa golla-golla ‘hati dan budi yang manis’.
Citraan Gerak dalam puisi Dalam larik-larik puisi, kamu pun dapat menemukan citraan gerak atau kinestetik. Yang dimaksud citraan gerak adalah gerak tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan tersebut. Munculnya citraan gerak membuat gambaran puisi menjadi lebih dinamis.
Bugis Cokkong lebu bulu ammo
Ajak mutakkalupa
Pole ri ammekku (Sabriah, 1997: 248)
Terjemahan: Jika engkau sampai di pucuk
Jangan hendaknya engkau lupa
Engkau berasal dari bawah
Makassar Nampako maccuklak lebong
Nakurompong-rompong memang
Lompoko naik
Kutambai pakrompongku (Hakim, 1998: 56)
Terjemahan: Sejak dinda tumbuh seperti tebu
Dinda telah kupagar
Semoga dinda cepat besar
Pagarku kuperkuat
Mandar Muaq diang na maqala
Pandeng pura utujuq
Apa gunana
Pataeng di seqdeu
Terjemahan: Bila ada yang akan mengambil
Pandan yang sudah kuikat
Apakah gunanya
Senjata tajam di pinggangku
Gramatika, Volume I, Nomor 2, Juli—Desember 2013 110
Toraja Mattumbai na taeqna rapeq
Sokko soloq bombongna
Marundun bongi
Musanlaq cappana (Jemmain, hlm.: 16)
Terjemahan: Bagaimana tak terkulai
Menuju ke bawah puncaknya Setiap malam
Kau sapu puncaknya
Pada kutipan puisi-puisi diatas citraan gerak dapat terlihat pada kata cokkong lebu bulu ammo ‘jika engkau sampai di pucuk’, nampako maccuklak lebong ‘sejak dinda tumbuh seperti tebu’, muaq diang na maqala, pandeng pura utujuq ‘bila ada yang akan mengambil, pandan yang sudah kuikat’, dan musanlaq cappana ‘kau sapu puncaknya’.
Penutup Citraan (gambaran angan-angan) adalah gambarangambaran dalam pemikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Gambaran pemikiran ini adalah sebuah efek dalam pemikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh pengungkapan kita terhadap sebuah objek yang dilihat oleh mata, saraf penglihatan, daerah-daerah otak yang berhubungan (yang bersangkutan). Pencitraan sama dengan pengimajian, imaji dan citraan. Pencitraan atau citraan sangat bermanfaat dalam menghidupkan puisi.
Setelah membaca dan memahami serta menganilisis pencitraan yang terdapat pada kutipan-kutipan puisi daerah Sulawesi Selatan dapat disimpulkan bahwa puisi tersebut mengandung unsur citraan, yakni:
setiap puisi daerah Sulawesi Selatan mampu dianalisis sesuai dengan unsur citraan, yakni penglihatan, pendengaran, rabaan, pengecap dan gerak;
puisi-puisi daerah Sulawesi Selatan memiliki unsur citraan penglihatan, pendengaran, rabaan, pengecap dan gerak; dan
citraan yang terrefleksi dalam puisi-puisi daerah Sulawesi Selatan, ada kalanya ditemukan beberapa unsur dalam satu bait.
Dari cerminan tersebut di atas, untuk mengetahui seberapa banyak sastra tulis khususnya puisi yang bisa memberikan nilai-nilai lebih (citraan) yang mampu membuat perubahan ke arah yang lebih baik. Pembaca harus bisa memilah dan memilih karya sastra yang apresiatif positif. Pembaca mesti pandai mengungkap dan mempelajari nilai estetisnya, bukan hanya hiburan semata. Untuk mengetahuinya perlu diadakan penelitian-penelitian terhadap kesusastraan kita, sehingga sastra tulis tidak hanya hiburan semata, tetapi juga dapat dibaca dipahami dan dijadikan media pembelajaran yang positif oleh masyarakat luas. Mempelajari dan mengembangkan puisi puisi sastra sangat perlu ditingkatkan Oleh karena itu kita sebagai pemerhati bahasa dan sastra daerah mempunyai tugas untuk menelusurinya dan terus mensosialisasikannya, sehingga dapat memperbanyak wawasan kesusastraan Indonesia.
Sastra Sumatera
Sastra Rabab Pariaman (Sumatera Barat): Tradisi pertunjukan lisan ini berasal dari Sumatra Barat. Tukang rabab menyampaikan cerita dalam wujud nyanyian dengan ciri dialek Pariaman. Tradisi ini biasa dipertunjukkan pada pesta perkawinan, perayaan nagari, pesta pengangkatan penghulu, dan lain-lain. Cerita yang disampaikan berisi perjuangan untuk mencapai keberhasilan hidup. Tokoh dalam cerita itu menghadapi kesulitan dalam mencapai keberhasilan, kemudian mendapat tanggapan dari penonton.
Sastra Batak Toba (Sumatera Utara): Orang Batak Toba terkenal dengan keberaniannya untuk berbicara di depan umum dan keberanian dalam hal-hal lainnya. Sifat umum dan khas dari suku bangsa ini ialah “Si boru puas si boru bakkara, molo nunga puas ampema soada mara (artinya,seseorang harus mengungkapkan isi hati dan perasaannya, dan jika hal itu telah terungkapkan maka puaslah rasanya dan damai serta selesailah masalkah, semua masalah harus dituntaskan dengan pembicaraan). Ungkapan ini umumnya mewarnai sifat orang Batak. Berkaitan dengan itulah maka orang Batak suka berbicara. Suka berbicara, berkaitan erat dengan bayak hal dalam hidup orang Batak Toba. Suku ini memiliki banyak ungkapan-ungkapan berhikmat, pepatah, pantun, falsafah, syair lagu, dll.
Banyak ungkapan bijaksana di kalangan masyarakat Toba. Ungkapan bijak itu tidak kala penting dan nilainya bagi kehidupan mausia bila dibandingkan dengan ungkapan bijak dari sastra suku bangsa lain. Ungkapan berhikmat itu sungguh lahir dari pengalaman dan pergulatan hidup nenek moyang dari dahulu hingga masa sekarang.Makna yang terkandung dalam sastra Batak Toba berkaitan erat dengan kehidupan yang dialami setiap hari, misalnya: falsafah pengetahuan (Batak: Habisuhon), kesusilaan (Batak: Hahormaton), tata aturan hidup (Batak: Adat dohotuhum) dan kemasyarakatan (Batak: Parngoluon siganup ari). Bila diteliti secara seksama, sastra kebijaksanaan suku Batak Toba (yang disebut umpama), terdiri dari empat bagian. Pembagian itu adalah sebagai berikut:
Filsafah (Batak: umpama na marisi habisuhon= pepatah yang berisi pengetahuan atau kebijaksanaan).
Etika kesopanan (Batak : umpama hahormaton).
Undang-undang (Batak: umpama na mardomu tu adat dohot uhum).
Kemasyarakatan (Batak: umpama na mardomu tu parsaoran si ganup ari, ima na dipangke di tingki pesta, partamueon, dll.).
Arti dan makna umpama (pepatah) dalam suku Batak Toba sangat luas dan mendalam. Berdasarkan bentuknya ungkapan itu dapat di bagi ke dalam empat bagian besar. Pembagian itu ialah:
Pantun (Batak: umpasa): adalah ungkapan yang berisi permintaan berkat, keturunan yang banyak, penyertaan dan semua hal yang baik, pemberian dari Allah.
Kiasan/persamaan (Batak: tudosan): adalah pepatah yang berisi persamaan dengan ciptaan (alam) dan semua yang ada di sekitar kita, misalnya: pematang sawah yang licin.
Nyanyian (Batak: endeende): adalah pepatah yang sering dinyanyikan, diungkapkan oleh orang yang sedang rindu, yang bergembira dan yang sedang sedih.
Pepatah (Batak: Umpama) adalah: kebijaksanaan/kecerdikan, pepatah etika kesopanan, pepatah adat (peraturan :tata cara), pepatah hukum.
Masyarakat Batak Toba pada umumnya hidup tersebar atau tinggal di sekitar daerah Sumatera Utara, khususnya di daerah pulau Samosir dan daerah Tapanuli.Namun demikian orang Batak telah tersebar ke berbagai penjuru dunia ini. Suku Batak Toba menjadi suku bangsa yang besar. Nenek moyang suku bangsa Batak diduga berasal dari Hindia Belakang, walau menurut mitos orang Batak yang beredar di kalangan masyarakat ini, nenek moyang Orang Batak berasal dari titisan dewa Si Raja Deang Parujar. Raja Batak sebagai manusia pertama dikirim oleh dewa ke bumi ini di gunung Pusuk Buhit, di pulau Samosir. Suku ini memiliki beberapa persamaan dengan salah satu suku di daerah Fhilipina. Karena itu diperkirakan bahwa sebenarnya keturunan Batak Toba berasa dari daerah Asia bagian Hindia Belakang. Banyak teori dan pendapat yang berbicara tentang keberadaan suku Batak Toba.Sebagian berpendapat bahwa suku Batak mencakup lima suku: Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Dairi-Pakpak. Tetapi pendapat ini sangatlah lemah karena bukti untuk itu tidak kuat. Sebagian orang berpendapat bahwa suku ini berdiri sendiri. Memang ada kemiripan di antara kelima suku ini, misalnya memiliki sedikit persamaan dalam bahasa, adat kebiasaan. Tetapi lebih banyak perbedaan. Perbedaan ini menjadi dasar penentu bahwa suku Batak Toba berbeda dari suku yang lainnya itu. Dalam tugas ini penulis menjelaskan sastra yang dimiliki oleh suku Batak Toba, karena dari suku inilah penulis berasal.
Orang Batak Toba terkenal dengan keberaniannya untuk berbicara di depan umum dan keberanian dalam hal-hal lainnya. Sifat umum dan khas dari suku bangsa ini ialah “Si boru puas si boru bakkara, molo nunga puas ampema soada mara (artinya,seseorang harus mengungkapkan isi hati dan perasaannya, dan jika hal itu telah terungkapkan maka puaslah rasanya dan damai serta selesailah masalkah, semua masalah harus dituntaskan dengan pembicaraan). Ungkapan ini umumnya mewarnai sifat orang Batak. Berkaitan dengan itulah maka orang Batak suka berbicara. Suka berbicara, berkaitan erat dengan bayak hal dalam hidup orang Batak Toba. Suku ini memiliki banyak ungkapan-ungkapan berhikmat, pepatah, pantun, falsafah, syair lagu, dll. Banyak ungkapan bijaksana di kalangan masyarakat Toba. Ungkapan bijak itu tidak kala penting dan nilainya bagi kehidupan mausia bila dibandingkan dengan ungkapan bijak dari sastra suku bangsa lain. Ungkapan berhikmat itu sungguh lahir dari pengalaman dan pergulatan hidup nenek moyang dari dahulu hingga masa sekarang.
Sastra kebijaksanaan Batak Toba :
Berkaitan dengan Penderitaan Manusia:
Nunga bosur soala ni mangan
Mahap soala ni minum
Bosur ala ni sitaonon
Mahap ala ni sidangolon
Arti harafiah dan leksikal:
Sudah kenyang bukan karena makan
Puas bukan karena minum
Kenyang karena penderitaan
Puas karena kesedihan/dukacita
Sedangkan arti dan makna terdalam: Syair pantun ini mengungkapkan keluhan manusia atas penderitaan yang berkepanjangan yang menyebabkan keputusasaan. Penderitaan sering dianggap sebagai takdir. Takdir ditentukan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Allah orang Batak Toba) harus diterima dengan pasrah saja. Ada orang yang menyerah saja pada penderitaan dan menjadi apatis. Namun untuk sebagian orang takdir dilihat sebagai sarana pendidikan, yakni mendidik untuk tabah menghadapi segala cobaan hidup, menyingkirkan sifat sombong dan sekaligus menanamkan rasa patuh kepada orang tua, raja, hula-hula (kerabat keluarga), nenek moyang dan Debata Mulajadi Na Bolon.
Jenis pantun ini ialah “pantun andung” (pantun tangisan) pada penderitaan. Pantun ini diungkapkan pada waktu mengalami penderitaan (kesedihan dan duka cita), misalnya pada saat kematian orang tua, sahabat dan famili.
Berkaitan dengan Nasihat dan Larangan Melakukan Perzinahan:
Silaklak ni dandorung
Tu dangka ni sila-sila
Ndang iba jumonokjonok
Tu na so oroan niba
Arti harafiah dan leksikal:
Kulit kayu dandorung
Ke dahan kayu silasila
Dilarang mendekati perempuan/wanita
Jika tidak istri sendiri
Arti terdalam:
Dua baris terakhir dari syair pantun di atas menasehatkan kepada semua pria agar tidak mendekati seorang perempuan/wanita yang tidak istrinya. Nasehat ini merupakan usaha untuk menghindari tindakan perzinahan dan sekaligusmerupakan larangan untuk tidak melakukan perzinahan. Seorang laki-laki yang mendekati perempuan yang bukan istrinya dan melakukan hubungan seksual disebut berzinah. Orang yang melakukan perzinahan dihukum dan terkutuk hidupnya.
Jenis Sastra:
Pepatah nasehat ini digolongkan ke dalam pantun nasehat atau pepatah nasehat (Batak: umpama etika hahormaton, adat dohot uhum). Pepatah ini digunakan pada kesempatan pesta adat, pesta perkawinan, dan pada hari-hari biasa serta pada kesempatan yang biasa juga. Juga sering diungkapkan pada waktu diadakan musyawarah kampung karena adanya tindakan pelanggaran perkawinan. Biasanya orang yang berzinah dihukum secara adat.
Berkaitan dengan Etika Kesopanan (sopan santun):
” Pantun hangoluan, tois hamatean!”
Arti harafiah dan leksikal: Sikap hormat dan ramah mendatangkan kehidupan dankebaikan; sikap ceroboh atau sombong (tidak tahu adat) membawa kematian/malapetaka.
Arti terdalam: sopan santun, sikap hormat dan ramah tamah akan membuahkan hidup yang mulia dan bahagia (baik), sedangkan sikap ceroboh dan sombong (angkuh) akan menyebabkan kematian, penderitaan, malapetaka dalam hidup seseorang. Pada umumnya orang yang sopan memiliki banyak teman yang setia, ke mana dia pergi selalu mendapat perlindungan dan sambutan dari orang yang dijumpainya. Sedangkan orang yang ceroboh dan sombong sulit mendapat teman bahkan sering mendapat lawan dan musuhnya banyak. Yang seharusnya kawan pun menjadi lawan bagi orang yang seperti ini.
Jenisnya dan digunakan pada kesempatan: Sastra ini tergolong dalam pepatah (Batak: umpama) nasehat. Pepatah etika sopan santun. Biasanya digunakan pada kesempatan memberangkatkan anak, famili atau sahabat yang hendak pergi ke perantauan. Dan pepatah ini digunakan sebagai nasehat orang-orang tua kepada anakanaknya.
Berkaitan dengan “Janji atau nazar” yang harus ditepati:
Pat ni satua
Tu pat ni lote
Mago ma panguba
Mamora na niose
Arti harafiah dan leksikal:
Kaki tikus
Ke kaki burung puyuh
Lenyap/hilanglah si pengingkar janji
Dan kayalah yang diingkari
Arti terdalam: seorang yang mengingkari janji, apalagi sering-sering mengingkari akan hilang lenyap (mati) karena tindakannya dan orang yang diingkari akan menjadi kaya. Orang yang mengingkari janji dikutuk dan ditolak oleh masyarakat umum, sedangkan orang yag diingkari mendapat penghiburan dan pengharapan yang baik dari sang pemberi rahmat. Dia akan menjadi kaya dalam hidupnya. Padan adalah janji atau perjanjian, ikrar yang disepakati oleh orang yang berjanji. Akibat dari pelanggaran padan lebih daripada hukum badan, karena ganjaran atas pelanggaran padan (janji) tidak hanya ditanggung oleh sipelanggar janji (padan), tetapi juga sampai pada generasi-keturunan berikutnya. Ada unsur kepercayaan kutukan di dalamnya. Padan bersifat pribadi dan rahasia, diucapkan tanpa saksi atau dengan saksi. Jika padan diucapkan pada waktu malam maka saksinya ialah bulan maka disebut padan marbulan. Dan jika diucapkan pada siang hari saksinya ialah hari dan matahari disebut padan marwari. Nilai menepati janji cukup kuat pada orang Toba. Ini mungkin ada kaitannya dengan budaya padan yang menyatakan perbuatan ingkar janji merupakan yang terkutuk.
Jenis pantun dan digunakan pada kesempatan: pantun ini tergolong ke dalam pepatah (Batak: umpama) nasehat kepada orang yang berjanji (Batak: marpadan). Pepatah ini digunakan pada kesempatan ketika menasehati orang yang sering menginkari janji. Pada upacara adat terjadi pembicaraan dan berkaitan dengan pengadaan perjanjian. Nasehat ini diberikan dan disampaikan oleh orang tua dari kalangan keluarga. Ini merupakan unsur sosialisasi untuk mendidik orang Toba menjadi orang yang konsekuen dalam bertindak.
Berkaitan dengan Kehidupan Sosial Masyarakat:
Ansimun sada holbung
Pege sangkarimpang
Manimbuk rap tu toru
Mangangkat rap tu ginjang
Arti harafiah dan leksikal:
Mentimun satu kumpulan
Jahe satu rumpun batang
Serentak melompat ke bawah
Serentak melompat ke atas
Arti terdalam: Umpama ini digunakan untuk kerabat sedarah dan dari satu keluarga (Batak: dongan sabutuha). Pepatah ini mengisyaratkan kebersamaan untuk menanggung duka dan derita, suka dan kegembiraan. Sejajar dengan ungkapan:”ringan sama dijingjing, berat sama dipikul”. Dari ungkapan ini terbersit arti mendalam dari kekerabatan yang dianut oleh orang Batak Toba. Kekerabatan mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang dipupuk atas dasar hubungan darah.Kerukunan diusahakan atas dasar unsur-unsur Dalihan Na Tolu. Hubungan antar manusia dalam kehidupan orang BatakToba diatur dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Hubungan ini telah disosialisasikan kepada generasi dari generasi ke generasi berikutnya. Hubungan ini telah ditanamkan kepada anak sejak dia mulai mengenal lingkungannya yang paling dekat, misalnya dengan orang tua, sanak saudara dan kepada famili dekat. Pengertian marga dijelaskan dengan baik sesuai dengan kode etik Dalihan Na Tolu. Tata cara kehidupan, cara bicara, adat-istiadat diatur sesuai dengan kekerabatan atas dasar Dalihan Na Tolu itu.
Jenis sastra: tergolong dalam kelompok pepatah (Batak: umpama). Dipakai pada kesempatan pesta pernikahan, pesta adat dan pada waktu kemalangan. Pepatah ini digunakan sebagai nasehat untuk pihak yang berpesta dan yang sedang kemalangan.
Kekhasan Sastra Batak Toba:
Sastra Batak Toba lahir dari budaya Batak yang tumbuh berkat relasinya dengan alam, dunia sekitar dan orang-orang dari suku bangsa lain.
Pepatah atau ungkapan bijak dalam suku ini tidak diperoleh dari hasil pendidikan formal, tetapi dari pendidikan suatu perkumpulan, misalnya perguruan silat atau perkumpulan marga dan adat.
Sastra ini pada umumnya diwariskan secara lisan.
Pengarang satra ini tidak diketahui. Waktu penulisan dan tempat mengarang juga tidak dapat dipastikan.
Pepatah dan pantun dapat diubah-ubah sesuai dengan situasi yang ada. Tetapi harus selalu diperhatikan dan dipertahankan isi dan makna yang sebenarnya.
Sastra ini memiliki arti kiasan atau perumpamaan dan arti langsung (harafiah).
Pola sajak yang digunakan umumnya bervariasi, ada ab-ab dan ada yang bebas.
Ada pepatah atau sajak yang bernilai rohani, yang sangat dalam maknanya.
Pepatah umumnya dikuasai oleh sebagian orang saja yang bertugas sebagai pembicara dalam adat. Orang yang bisa berbicara dengan baik dan mengetahui banyak pepatah maka dia dapat dihunjuk sebagai pembicara dalam adat. Tetapi umumnya sastra ini dapat digunakan oleh siapa saja.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sastra bandingan merupakan sebuah kajian yang memuat nilai kandungan dari sebuah sastra. Untuk sastra yang di kaji punya banyak jenis misalnya cerita, novel, dan lainya. Baik mulai dari sastra tulisan maupun lisan.
Dalam analisis sastra banding memerlukan ketelitian yang jernih dalam pembahasannya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan ketika menganalisis yaitu konstruksi analisis harus jelas,tegas,dan mengarah ke sastra bandingan. Analisis selalu menuju pada penemuan relasi antara dua karya atau lebih antara karya sastra dengan aspek lain. Hal penting lainya adalah kesejajaran menjadi tumpuan analisis.
Saran
Dengan adanya sastra bandingan di harapkan dapat terus mengembangkan nilai-nilai yang ada pada sebuah sastra
Ketelitian adalah hal yang penting dalam pembahasan analisis sastra bandingan
Untuk objektivitas sastra bandingan penting sekali dilakukan
No comments:
Post a Comment